Jumat, 13 Februari 2009

Alternatif di tengah krisis energi

By Line: Abdul Saban

Di masa lalu, demi peningkatan devisa, pemerintah Orde Baru menjadikan energi fosil sebagai komoditas unggulan yang diekspor secara besar-besaran. Sebaliknya, negara lain malah menimbun energi fosilnya dalam tanah. Alhasil, stok energi fosil Indonesia makin minipis, sehingga untuk melayani kebutuhan energi sendiri, pemerintah mulai mengimpornya dari negara lain. Tak heran, setiap tahun pemerintah kelimpungan menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Ini pun kemudian berdampak kepada harga BBM dalam negeri.
-----------------------------

Kenaikan harga BBM bersubsidi saat ini disambut dengan unjuk rasa yang tiada henti dari kalangan mahasiswa se-indonesia. Pasalnya, BBM bersubsidi yang menjadi idola masyarakat dianggap lebih murah ketimbang BBM non-subsidi, sehingga pemakainya (konsumen/red) menganggapnya bak makanan pokok.
Selain itu, lonjakan harga minyak hingga US$ 124 per barel sudah tentu mempengaruhi aktifitas perekonomian di berbagai belahan dunia, utamanya Indonesia. Di Sultra, kemelut kelangkaan BBM merupakan pemandangan yang bisa dijumpai. Diberbagai sudut kota tampak antrean kendaraan di SPBU dan ibu rumah tangga yang menunggu jatah minyak tanah. Praktisnya, julukan bumi anoa ini sudah mulai sesak dengan antrean BBM panjang yang tak kunjung habis. Dari segi APBN, subsidi BBM yang mencapai 25% dinilai sebagai sesuatu yang tidak wajar dan memberatkan pemerintah. Selain itu krisis BBM ini disinyalir merupakan penyebab melemahnya rupiah terhadap dolar. kondisi ini belum akan berhenti sampai disitu, selama ketergantungan terhadap bahan bakar fosil masih tinggi.
Lalu, sesuai dengan hukum ekonomi. Ketika permintaan semakin meningkat, maka secara otomatis akan disusul dengan peningkatan harga dipasaran pula. Ketika masyarakat Indonesia pada umumnya masih bergantung kepada bahan bakar fosil (minyak bumi), di sisi lain stok minyak bumi Indonesia kian menipis.
Energy Information Administration (EIA) memperkirakan pemakaian energi hingga tahun 2025 masih didominasi bahan bakar fosil, yakni minyak bumi, gas alam, dan batubara. Sementara menurut data Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia tahun 2007 menyebutkan, cadangan minyak bumi di Indonesia hanya cukup untuk 18 tahun kedepan, gas bumi masih bisa mencukupi hingga 61 tahun lagi. Kemudian cadangan batubara diperkirakan habis dalam waktu 147 tahun lagi.
Di Kota Kendari sendiri, suplai BBM ke masyarakat tidak pernah berkurang. Sucipto, kepala Depot Pertamina Cabang Kendari menuturkan untuk jatah minyak tanah misalnya, pihaknya selalu menyalurkan 200 kilo liter (KL) per hari khusus untuk Kota Kendari. Sedangkan daerah-daerah lain yang masih dalam wilayah daratan (Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Bombana) masing-masing dengan jumlah yang sama pula yaitu 200 KL per hari.
“Itu untuk konsumen rumah tangga,” kata Sucipto.
Wakil Kepala Dinas (Wakadis) Pertambangan dan Energi Pemprov Sultra Hado Hasina mengatakan, pihak BUMN seperti PLN dan Pertamina dituntut untuk menyediakan kebutuhan energi kepada masyarakat secara optimal. Disisi lain, sumber daya yang menunjang kegiatan energi fosil di Sultra tidak ada.
“Kita tidak punya sumur minyak bumi dan ladang batu bara. Ini pekerjaan besar buat kami”, katanya.
Kenaikan BBM ini juga menambah kesengsaraan kelistrikan utamanya Sultra yang saat ini sudah memprihatinkan. Apalagi selama ini PLN di Sultra, khususnya Kota Kendari memakai mesin diesel berbahan bakar minyak sebagai pembangkit listrik.
Di tempat terpisah, Fauzi Arubusman Manager PT. PLN (Persero) Cabang Kendari mengatakan, pihaknya mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Perusahaan ini tak diuntungkan selama beroperasi di Sulawesi Tenggara.
“Banyak yang berpikir, semakin tinggi biaya yang mereka bayar ke PLN semakin untung kami, padahal itu tidak,” katanya.
Justru sebaliknya, semakin banyak penggunaan perangkat listrik, beban PLN besar pula. Karena subsidi pemerintah tidak pernah berubah, sementara biaya operasional perusahaan plat merah ini semakin bertambah seiring banyaknya pelanggan.
Kota Kendari saat ini memiliki dua sektor utama yang menyuplai energi listrik ke masyarakat, salah satu diantaranya adalah Pembangkit Listrik Jawa Bali (PJB) Poasia yang berkapasitas 12,5 Mega Watt (MW). Di sektor ini terdapat lima mesin pembangkit listrik berjenis diesel yang menggunakan bahan bakar MFO sejenis fill oil (kualitasnya di bawah solar).
Rasio elektrifiaski dari data dinas pertambangan propinsi Sultra tahun 2007, sekitar 611 desa belum teraliri listrik dari 1.911 desa yang ada di Sultra. Dibanding data PLN cabang Kendari tahun 2005, 1.733 Desa di 117 Kecamatan yang tersebar pada 10 Kabupaten/Kota se Sulawesi Tenggara (Sultra), sekitar 63% diantaranya belum terlayani aliran listrik PLN. Untuk itu, lanjut Hado Hasina, saat ini PLN tidak dapat diandalkan untuk menyuplai kebutuhan listrik di Sultra. Menurutnya, satu-satunya jalan yang akan ditempuh oleh pihaknya adalah melakukan konversi energi.
Pemerintah Daerah Sultra lalu berusaha mengajak investor untuk berinvestasi pembangkit tenaga listrik non BBM, yakni 57 persen berkompeten dalam bidang ini tidak memanfaatkan potensi sumber energi itu. Kenyataannya, bangsa ini makin terpuruk. Semua sendi kehidupannya mengalami krisis. Begitu krisis energi mulai melanda Indonesia, masyarakat maupun kaum intelktual menyambutnya dengan histeris. Demonstrasi yang rusuh dan kemacetan adalah aksi yang sudah lumrah bagi pemerintah. Bisa dibilang, masyarakat tidak sempat menduga akan adanya krisis listrik, kelangkaan BBM dan krisis energi lainnya.
Saat ini, demam krisis energi merupakan gejala yang sudah mewabah dikalangan masyarakat Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan dibenak kita, siapa yang salah? Apakah pemerintah yang over akting mengeksploitasi habis-habisan sumber energi mineral Indonesia, ataukah diri kita sendiri yang tidak pernah berpikir untuk menghemat energi tersebut.
Muhamad Suhud, Koordinator Perubahan dan Program Energi dari WWF Indonesia mengatakan, krisis energi di Indonesia mengkibatkan kian banyak kegiatan usaha yang tidak mengandalkan sepenuhnya pasokan listrik dari PLN. Mereka terpaksa membangun pembangkit listrik sendiri walau berakibat pada peningkatan biaya tetap, sehingga menggerogoti daya saing. Sedangkan usaha kecil yang tak mampu mengadakan listrik sendiri, terpaksa harus pasrah dengan mengurangi jam produksi mereka karena PLN kerap melakukan pemadaman. Perlu kita pahami, kebutuhan energi global dalam 30 tahun ke depan akan meningkat dua kali lipat per tahunnya.
Menurut Suhud, untuk mengatasi kritis energi saat ini, pemerintah mestinya mulai memprogramkan penggunaan energi bukan fosil oleh seluruh kalangan masyarakat.
“Bayangkan, untuk memasak saja kita harus bergantung dari minyak tanah yang semakin sulit di dapat. Sedangkan biji jarak yang dapat dibudidayakan di pekarangan rumah sendiri tidak pernah di sentuh,”katanya.
Peningkatan jumlah konsumsi BBM ini yang membuat kelangkaan pasokannya semakin berkurang, sementara komoditasnya semakin berkurang. Jadi indikasinya paling lambat 20 tahun kemudian potensi BBM Indonesia akan habis.
Apa yang terjadi saat ini menjelaskan satu hal, Pemerintah berkewajiban mencari alternatif pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan dan mampu memenuhi kebutuhan listrik warga. Selain itu warga juga dituntut hemat listrik, terutama disaat beban puncak yakni pukul 17.30- 23.00. Karena itu saatnya mengatakan pada Pemerintah;bantu listrik kami dengan energi yang ramah lingkungan.


Alternatif di tengan krisis energi
Dari tahun ketahun, harga bahan mentah minyak dunia selalu menunjukan kenaikan. Tidak perlu heran akan hal ini, karena suplai pasokan bahan minyak mentah dunia, khususnya Indonesia semakin berkurang. Dari berbagai kenyataan tersebut, hendaknya pemerintah lebih proaktif untuk mencari sumber energi baru dan terbaharukan.
Di satu sisi masalah peningkatan konsumsi energi listrik ini mendapat sorotan dari berbagai pihak untuk segera dipecahkan.
Muhamad Suhud mengatakan Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam jumlah besar. Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: potensi bioethanol sebagai pengganti bensin, biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi, mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun bisa digunakan untuk membangkitkan listrik untuk kelistrikan dan industri besar hingga industri rumah tangga.
Hampir semua sumber energi tersebut telah diuji coba dan mulai diterapkan dalam skala kecil di tanah air. Momentum krisis BBM saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menata dan menerapkan dengan serius berbagai potensi tersebut. Meski saat ini sangat sulit untuk melakukan substitusi total terhadap bahan bakar fosil, namun implementasi sumber energi terbarukan sangat penting untuk segera dimulai.

Bioethanol
Bioethanol adalah ethanol yang diproduksi dari tumbuhan. Brazil, dengan 320 pabrik bioethanol, adalah negara terkemuka dalam penggunaan serta ekspor bioethanol saat ini.
Di tahun 1990-an, bioethanol di Brazil telah menggantikan 50% kebutuhan bensinuntuk keperluan transportasi. Ini jelas sebuah angka yang sangat signifikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Bioethanol tidak saja menjadi
alternatif yang sangat menarik untuk substitusi bensin, namun dia mampu menurunkanemisi CO2 hingga 18% di Brazil.
Dalam hal prestasi mesin, bioethanol dan gasohol (kombinasi bioethanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin; bahkan dalam beberapa hal, bioethanol dan gasohol lebih baik dari bensin. Pada dasarnya pembakaran bioethanol tidak menciptakan CO2 neto ke lingkungan, karena zat yang sama akan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sebagai bahan baku bioethanol.
Di Sultra, potensi bioethanol bisa dikembangkan dimana-mana. Melalui tanaman tebu, jagung, singkong, ubi, dan sagu. Ini merupakan jenis tanaman yang umum dikenal para petani di tanah Sultra. Minyak yang berasal dari tanaman itu dicampur dengan alkohol jenis etena. Efisiensi produksi bioethanol bisa ditingkatkan dengan pemanfaatkan bagian tumbuhan yang tidak digunakan sebagai bahan bakar yang bisa menghasilkan listrik.

Biodiesel
Serupa dengan bioethanol, biodiesel telah digunakan di beberapa negara, seperti Brazil dan Amerika, sebagai pengganti solar. Biodiesel didapatkan dari minyak tumbuhan seperti sawit, kelapa, jarak pagar, kapuk, dan sebagainya.
Beberapa lembaga riset di Indonesia telah mampu menghasilkan dan menggunakan biodiesel sebagai pengganti solar, misalnya BPPT serta Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB. Kandungan sulfur yang relatif rendah serta angka cetane yang lebih tinggi menambah daya tarik penggunaan biodiesel dibandingkan
solar.
Seperti diketahui, tingginya kandungan sulfur merupakan salah satu kendala dalam penggunaan mesin diesel, misalnya di Amerika. Serupa dengan produksi bioethanol, pemanfaatan bagian tanaman yang tidak digunakan dalam produksi biodiesel perlu mendapatkan perhatian serius. Dengan kerjasama yang erat antara pemerintah, industri, dan masyarakat, bioethanol dan biodiesel merupakan dua kandidat yang bisa segera diimplementasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Biogas
Biogas berupa gas dari kotoran hewan ternak yang di fermentasikan dalam sebuah plastik. Untuk pulau Jawa, pemakaian biogas saat ini banyak diminati industri rumah tangga terutama industri catering.
Menurut Suhud, dari hasil penelitiannya di Bogor, sekitar 56 persen ibu rumah tangga menggunakan energi jenis biogas.
“Alasannya murah dan ramah lingkungan,” katanya.

Tenaga Panas Bumi
Menurut data Departemen Sumberdaya Energi dan Mineral, Indonesia sebagai Negara yang terletak di daerah ring of fire diperkirakan memiliki cadangan tenaga panas bumi tak kurang dari 27 GW. Jumlah tersebut tidak jauh dari daya total pembangkitan listrik nasional yang saat ini mencapai 39.5 GW.
Pemanfaatan tenaga panas bumi di Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 3%. Tenaga panas bumi berasal dari magma (yang temperaturnya bisa mencapai ribuan derajad celcius). Panas tersebut akan mengalir menembus berbagai lapisan batuan di bawah tanah. Bila panas tersebut mencapai reservoir air bawah tanah, maka akan terbentuk air/uap panas bertekanan tinggi.
Ada dua cara pemanfaatan air/uap panas tersebut, yakni langsung (tanpa perubahan bentuk energi) dan tidak langsung (dengan mengubah bentuk energi).
Untuk uap bertemperatur tinggi, tenaga panas bumi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin dan generator yang selanjutnya menghasilkan listrik. Sedangkan uap/air yang bertemperatur lebih rendah (sekitar 100 oC) bisa dimanfaatkan secara langsung untuk sektor pariwisata, pertanian, industri, dsb.
Dengan adanya UU No 27 Tahun 2003 tentang panas bumi serta inventarisasi data panas bumi yang telah dilakukan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, maka eksploitasi tenaga panas bumi ini bisa segera direalisasikan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil.

Mikrohidro
Mikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil (bisa mencapai beberapa ratus kW). Relatif kecilnya energi yang dihasilkan mikrohidro (dibandingkan dengan PLTA skala besar) berimplikasi pada relatif sederhananya peralatan serta kecilnya areal tanah yang diperlukan guna instalasi dan pengoperasian mikrohidro.
Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan mikrohidro, yakni tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Mikrohidro cocok diterapkan di pedesaan yang belum terjangkau listrik dari PT PLN. Mikrohidro mendapatkan energi dari aliran air yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu.
Energi tersebut dimanfaatkan untuk memutar turbin yang dihubungkan dengan
generator listrik. Mikrohidro bisa memanfaatkan ketinggian air yang tidak terlalu besar, misalnya dengan ketinggian air 2.5 m bisa dihasilkan listrik 400 W.
Potensi pemanfaatan mikrohidro secara nasional diperkirakan mencapai 7,500 MW,
sedangkan yang dimanfaatkan saat ini baru sekitar 600 MW. Meski potensi energinya tidak terlalu besar, namun mikrohidro patut dipertimbangkan untuk memperluas jangkauan listrik di seluruh pelosok nusantara.

Minihidro
Hado Hasino mengatakan, untuk dapat mengatasi kritis listrik yang ada di Sultra Pemerintah Daerah sedang berupaya membangun PLTA di beberapa jalur sungai yang ada, khususnya di daerah daratan (Kolaka Utara, Kolaka, Konawe, Konawe utara dan Konawe Selatan). Minihidro adalah sejenis PLTA dalam ukuran sedang. Minihidro ini sangat cocok dengan kondisi topografi sungai di Sultra yang pendek.

Tenaga Surya
Energi yang berasal dari radiasi matahari merupakan potensi energi terbesar dan terjamin keberadaannya di muka bumi. Berbeda dengan sumber energi lainnya, energi matahari bisa dijumpai di seluruh permukaan bumi. Pemanfaatan radiasi matahari sama sekali tidak menimbulkan polusi ke atmosfer.

Perlu diketahui bahwa berbagai sumber energi seperti tenaga angin, bio-fuel, tenaga air, dan sebagainya sesungguhnya juga berasal dari energi matahari. Pemanfaatan radiasi matahari umumnya terbagi dalam dua jenis, yakni termal dan photovoltaic. Pada sistem termal, radiasi matahari digunakan untuk memanaskan fluida atau zat tertentu yang selanjutnya fluida atau zat tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan
listrik.
Sedangkan pada sistem photovoltaic, radiasi matahari yang mengenai permukaan
semikonduktor akan menyebabkan loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan
arus listrik. Karena tidak memerlukan instalasi yang rumit, sistem photovoltaic lebih banyak digunakan. Sebagai Negara tropis, Indonesia diuntungkan dengan intensitas radiasi matahari yang hampir sama sepanjang tahun, yakni dengan intensitas harian rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2 .
Meski terbilang memiliki potensi yang sangat besar, namun pemanfaatan energi
matahari untuk menghasilkan listrik masih dihadang oleh dua kendala serius: rendahnya efisiensi (berkisar hanya 10%) dan mahalnya biaya per-satuan daya listrik. Untuk pembangkit listrik dari photovoltaic, diperlukan biaya US $ 0.25 - 0.5 / kWh, bandingkan dengan tenaga angin yang US $ 0.05 - 0.07 / kWh, gas US $ 0.025 - 0.05 / kWh, dan batu bara US $ 0.01 - 0.025 / kWh [13]. Pembangkit lisrik tenaga surya ini sudah diterapkan di berbagi negara maju serta terus mendapatkan perhatian serius dari kalangan ilmuwan untuk meminimalkan kendala yang ada.

Tenaga Angin
Pembangkit listrik tenaga angin disinyalir sebagai jenis pembangkitan energi dengan laju pertumbuhan tercepat di dunia dewasa ini. Saat ini kapasitas total pembangkit listrik yang berasal dari tenaga angin di seluruh dunia berkisar 17.5 GW [17].
Jerman merupakan negara dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin terbesar, yakni 6 GW, kemudian disusul oleh Denmark dengan kapasitas 2 GW. Listrik tenaga angin menyumbang sekitar 12 persen kebutuhan energi nasional di Denmark. Angka ini hendak ditingkatkan hingga 50 persen pada beberapa tahun yang akan datang.
Berdasar kapasitas pembangkitan listriknya, turbin angin dibagi dua, yakni skala besar (orde beberapa ratus kW) dan skala kecil (dibawah 100 kW). Perbedaan kapasitas tersebut mempengaruhi kebutuhan kecepatan minimal awal (cut-in win speed) yang diperlukan Turbin skala besar beroperasi pada cut-in win speed 5 m/s sedangkan turbin skala kecil bisa bekerja mulai 3 m/s. Untuk Indonesia dengan estimasi kecepatan angin rata-rata sekitar 3 m/s, turbin skala kecil lebih cocok digunakan, meski tidak menutup kemungkinan pada daerah yang berkecepatan angin lebih tinggi (Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dsb) bisa dibangun turbin skala besar.
Perlu diketahui kecepatan angina bersifat fluktuatif, sehingga pada daerah yang memiliki kecepatan angin rata-rata 3 m/s, akan terdapat saat-saat dimana kecepatan anginnya lebih besar dari 3 m/s – pada saat inilah turbin angin dengan cut-in win speed 3 m/s akan bekerja.
Selain untuk pembangkitan listrik, turbin angin sangat cocok untuk mendukung kegiatan pertanian dan perikanan, seperti untuk keperluan irigasi, aerasi tambak ikan dan sebagainya.
Akhirnya, sekali lagi kritis energi saat ini mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa harus ada usaha serius dan sistematis untuk mengembangkan dan menerapkan sumber energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Penggunaan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga berarti menyelamatkan lingkungan hidup dari berbagai dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan BBM. Kerjasama antar Departemen Teknis serta dukungan dari industri dan masyarakat sangat penting untuk mewujudkan implementasi sumber energi terbarukan tersebut. (abdul saban dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar