Jumat, 13 Februari 2009

Diperlukan Sinergitas antar Sektor untuk Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pertanian

Kejadian-kejadian iklim yang ekstrim seperti perubahan musim kemarau dan hujan yang terus bergeser tak menentu semakin sering terjadi. Kekeringan semakin panjang dan musim hujan pendek namun lebih intensif. Kondisi cuaca yang semakin ekstrim tersebut berpeluang menyebabkan bencana kekeringan dan banjir akan sering terjadi dengan magnitude yang tinggi.

Pertanian, merupakan salah satu sektor yang paling rentan terkena dampak kondsi cuaca yang semakin ekstrim. Siklus perubahan iklim, menurut peneliti Departemen Pertanian terjadi dalam kurun waktu 20 tahun. Saat ini awal musim kemarau datang 10-60 hari lebih cepat dari biasanya dan musim hujan 10-30 hari lebih lambat dari kondisi normal. Curah hujan di musim kemarau semakin turun, sehingga musim kering akan semakin kering, sementara saat musim hujan curah hujan bertambah mengakibatkan banjir. Hal itu ditengarai sebagai dampak nyata dari pemanasan global. Petani, semakin kesulitan untuk memprediksi musim tanam akibat pergeseran musim.

Tak hanya itu, menurut data yang dihimpun dari berbagai media, petani dibeberapa wilayah menderita kerugian gagal panen dan puso akibat bencana. Di Sulawesi Barat, misalnya, sekitar 4.000 hektar tanaman padi usia 10-15 hari dipastikan gagal panen karena kekeringan akibat jebolnya tanggul Bendungan Sekka-Sekka, Polewali Mandar.Jika bendungan tidak segera diperbaiki, 12.535 hektar sawah terancam gagal panen . Sementara itu sekitar 4.192 hektar tanaman padi di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jateng, puso akibat banjir. Demikian juga di Kudus, Jawa Tengah sekitar 1.100 hektar tanaman padi puso. Kondisi serupa pun dialami oleh petani di daerah lain di Indonesia.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyebutkan, sampai saat ini areal pertanaman padi yang mengalami puso atau gagal panen akibat banjir baru sekitar 17.000 hektare (ha) selama periode Oktober 2008-Januari 2009 dan belum mengganggu target produksi nasional 63,52 juta ton gabah kering giling.Menurut Mentan luas lahan yang mengalami puso baru sepertiga dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 70.000 ha.
Meskipun tidak separah tahun lalu, namun kondisi tersebut cukup berdampak di tingkat daerah dan menggambarkan ancaman kerentanan di sektor pertanian akibat kondisi cuaca ekstrim sebagai dampak perubahan iklim.

Menurut Gatot Irianto, Kepala Badan Litbang Departemen Pertanian, adaptasi kerap dianggap sebagai cost sehingga kebijakan kerap dari sektor pendanaan, kebijakan investasi lebih diutamakan di luar sektor pertanian. Dan pertanian masih dianggap bugdet consuming . Sementara mitigasi masih dianggap terdepan dalam kerangka perubahan iklim.

Departemen Pertanian telah melakukan berbagai upaya adaptasi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dibidang pertanian. Mulai dari analisis pemahaman dan dampak dan prediksi, pengembangan jaringan komunikasi, penyiapan panduan dan pedoman, kebijakan, diversifikasi pertanian, intergrasi dan diversifikasi tanaman dan ternak, teknologi adaptif yang diterapkan di lapangan. Misalnya dengan introduksi teknologi budidaya hemat air dengan model System of Rice Intensification (SRI) dan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) , pengembangan water harvesting seperti embung, pengembangan varietas tahan rendaman,kekeringan ,hemat air dan toleran salinitas. Sayangnya, belum semua strategi dan program telah dijadikan kebijakan formal dan belum sensitif terhadap perubahan iklim.

Kebijakan nasional,regional, dan lokal harus tegas dan dapat dioperasionalisasik an. Dukungan sektoral, ujar Gatot seharusnya tidak hanya ditingkat wacana tapi melihat pada realitas yang terjadi. “Selain itu, insentif kepada petani yang telah melakukan upaya tersebut di lapangan menjadi penting dipikirkan ke depan. Subsidi, bukan lagi untuk harga melainkan langsung pada kepala tiap petani. “ tegas Gatot Irianto.

Dari sisi akademis, sejumlah kajian tentang perubahan iklim dan dampaknya telah dilakukan. Kajian ini sangat membantu untuk merumuskan kebijakan, program, aktifitas dan project yang tepat, terukur serta mencegah terjadinya mal adaptation Salah satunya dilakukan di Lombok, yang merupakan kerjasama GTZ dan WWF Indonesia. Dari hasil kajian kerentanan perubahan iklim bidang pertanian di Lombok telah terjadi pergeseran musim yang berpengaruh pada penanaman. “Saat ini hujan lebat di Lombok menyebabkan penyerbukan menjadi tak sempurna.” Ujar Chalil salah satu peneliti terlibat yang juga pengajar dari Universitas Mataram, NTB. Penyesuaian pola tanam dengan menggeser pola tanam menjadi salah satu rekomendasi yang diajukan ke pemerintah daerah NTB.

Upaya adaptasi telah pula dilakukan oleh petani sebagai penerima dampak langsung perubahan iklim. Berbagai inovasi lokal telah dilakukan. Di pesisir pantai selatan dan utara jawa, Sumatera dan Aceh, misalnya. Mulai dari pengembangan varietas tahan air asin, pengembangan teknologi dan teknologi penyesuaian pola tanam. Namun demikian, pemerintah seharusnya memberikan ruang kepada petani untuk terus mendiseminasikan, memberikan perlindungan serta insentif kepada petani. “ Insentif tidak hanya dimaknai pendanaan, melainkan juga peningkatan kapasitas petani.” Tutur Kustiwa. Peran perguruan tinggi sangat penting untuk membantu petani dengan hasil penelitian dan menterjemahkan upaya petani ke bahasa ilmiah demikian juga sebaliknya.

Kondisi diatas terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Pokja Adaptasi Dewan Perubahan Iklim Indonesia, kamis, 12 Pebruari 2009 di kantor DNPI, Medan Merdeka Selatan. Adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian menjadi topik pertemuan yang dibuka oleh Agus Purnomo, Ketua Sekretariat DNPI. Potongan program dan aktivitas yang telah dan sedang dilakukan ini akan menjadi potret untuk dikembangkan menjadi model dan alat ukur strategi adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Bagi Hidayat Pawiyatan , pengajar dari IPB, yang didaulat sebagai penanggap menilai bahwa Departemen pertanian merupakan salah satu sektor yang paling siap mengatisipasi perubahan iklim. Upaya di tingkat lokal sampai nasional harus didudukkan pada porsinya masing-masing.

“ Pertemuan yang dihadiri lebih dari 40 undangan dari para pihak ini untuk mensinergikan para pihak terkait bidang pertanian dan berpengaruh pada kesediaan pangan sampai pada infrastruktur fisik melalui strategi pembangunan yang mengadopsi pengarusutamaan (mainstreaming) perubahan iklim.” Ungkap Armi Susandi, wakil ketua Pokja Adaptasi DNPI.

Ke depan Seri pertemuan tematik antar pemangku kepentingan akan terus dilakukan oleh Pokja Adaptasi DNPI. DNPI sendiri dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008. Kehadiran dewan yang diketuai langsung oleh Presiden Republik Indonesia ini, diharapkan menjadi otoritas untuk mengintegrasikan rencana , strategi dan implementasi program terkait perubahan sekaligus peran pengawasannya. Dewan ini diketuai langsung oleh.

Peran kepada dewan untuk merumuskan kebijakan sampai kepada memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi internasional. Beberapa isu strategis yang muncul diantaranya adalah dewan yang mampu mengkoordinasikan dan mengharmonisasikan kebijakan pembangunan seluruh sektor yang terkait dengan ancaman dan dampak perubahan iklim. Implementasi program antar sektor yang searah dengan kebijakan yang dilahirkan dewan ini dan keberlanjutan dewan itu sendiri.

Informasi lebih lanjut ;

Armi Susandi – Wakil Ketua Pokja Adaptasi

Ari Muhammad-Sekertaris Pokja Adaptasi Dewan Perubahan Iklim Indonesia

Hp. 0816913259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar